Kamis, 17 Mei 2012

BIOGRAFI SINGKAT PRAMOEDYA ANANTA TOER



Pramoedya Ananta Toer lahir pada 6 Februari 1925 di Kampung Jetis, Blora Jawa Tengah sebagai anak sulung dari Sembilan bersaudara.  Ayahnya bernama Mastoer, seorang guru dan ibunya bernama Oemi Saidah, seorang ibu rumah tangga.  Sewaktu kecil, Pram sudah terlihat sebagai anak yang pintar mengumpulkan teman-temannya, banyak akal dan berani mencoba apapun dalam segala hal.  Namun, masa kecilnya juga tertindas oleh perlakuan ayahnya yang terlalu keras dan berdisiplin tinggi.  Rasa tertekan, terkucilkan, tertindas, dan minder yang akut akhirnya mendorong Pram untuk menulis.
Pram memulai pendidikannya di SD Blora.  Namun ia pernah tiga kali tidak naik kelas sehingga membuat ayahnya malu dan mengatakannya sebagai anak yang bodoh.  Ayahnya tidak mau menyekolahkannya lebih lanjut ke jenjang yang lebih tinggi.  Akhirnya ibunya lah yang menyekolahkan dan membiayai Pram untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah telegraf (Radio Vackschool) Surabaya tanpa sertifikat karena kedatangan Jepang.   
            Di masa ia muda ketika kondisi negara sedang dijajah baik oleh Belanda maupun Jepang, Pram melakukan perjuangan melawan penjajah. Pram sering mengikuti kelompok militer di Jawa dan ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan.  Tidak hanya berjuang untuk negara, Pram juga berjuang untuk keluarga.  Pada usia 17 tahun, ibunya menderita sakit TBC dan akhirnya meninggal di tahun 1942. Ayahnya pun kesulitan bekerja sebagai guru karena kedatangan Jepang yang menyebabkan ia kehilangan mata pencahrian. Pram harus menafkahi keluarganya.  Ia bekerja sebagai wartawan di kantor Jepang, kemudian menjadi stenograf, lantas menjadi jurnalis yang handal.  Ia juga pernah bergabung dalam BKR.
Mengenai asmaranya, Pram sempat mengalami kisah tragis.  Pernikahan pertamanya yang memilki tiga orang anak kandas.  Ia ditolak oleh mertua dan istrinya akibat hanya menggantungan diri pada kegiatan menulis untuk menafkahi keluarga. Gaji yang diterima saat bekerja di Balai Pustaka dianggap tidak mencukupi. Pram pun bercerai dan kembali menikah dengan perempuan lain bernama Maemunah.  Pernikahan keduanya ini membuahkan sembilan orang anak.
            Ketika bangsa Indonesia yang telah merdeka akan kembali dijajah oleh Belanda (Agresi militer: 21 Juli 1947), Pram bergabung dengan kalangan nasionalis.  Ia mencetak serta menyebarkan pamflet dan majalah perlawanan.  Tindakan ini membawanya ke dalam penjara tahanan Belanda di Bukit Duri tanpa proses yang wajar dan selanjutnya di Pulau Damar (Edam).  Ia disisksa oleh satu peleton dan barang-barang di rumahnya disita.  Di dalam penjara, Pram mendapatkan banyak pengalaman hidup seperti belajar pasrah kepada tuhan, perjuangan, hingga belajar bahasa asing seperti Inggris, Belanda dan Jerman secara otodidak, termasuk belajar sosiologi, filsafat dan ekonomi.  Ia juga banyak menelurkan sejumlah karya seperti Perburuan dan Dia yang Menyerah. Akhir Desember 1949, Pram dibebasan bersama kelompok tahanan terakhir.
Kehidupan Pram pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru menjadi titik balik kehidupannya. Jika pada zaman Orde Lama ia menjadi titik puncak tokoh sastrawan terkemuka yang menyerang dengan kekuatan ideologi sastranya, maka ada zaman Orde Baru ia dijebloskan ke dalam penjara Salemba lalu ke penjara Tangerang.  Pram dianggap sebagai simbol perlawanan dan korban kekerasan rezim Soeharto.  Di sini lah karya-karya Pram mulai banyak bermunculan.  Hal ini berlajut hingga masa Reformasi.  Pram sering sekali menjadi pembicara dalam seminar-seminar berbau kenegaraan.
Satu hal yang membuat nama Pramoedya Ananta Toer menjadi besar adalah pemikiran-pemikirannya tentang nasionalisme, demokrasi, pluralisme, pendidikan, perempuan dan agama.  Secara garis besar, pemikiran Pram mengenai nasionalisme dikaitkan dengan bentuk Indonesia sebagai negara maritim dan otonomi daerah sebagai bentuk pemerintahannya. Sedangkan pemikirannya tentang demokrasi, Pram berhasil menerapkan kebebasan berpendapat dalam kalangan Lekra yang bertentangan dengan kaum komunis.  Mengenai pemikiran pluralisme, Pram bersikap terbuka terhadap persoalan agama dan rasa tau etnis. Kemudian pemikirannya dalam pendidikan, ia mengkritik sistem pendidikan yang memposisikan guru subjek sekaligus objek yang mutlak di dalam kelas.  Untuk pemikirannya mengenai perempuan, Pram menunjukkan bagaimana ia memiliki perhatian yang besar terhadap kaum yang dianggapnya tangguh meski dalam kondisi tertindas.  Semua pemikiran-pemikirannya itu dituangkannya dalam bentuk karya tulis fiksi maupun non fiksi.
Banyaknya karya tulis yang lahir dari sosok Pramoedya Ananta Toer menjadikannya sebagai salah satu sosok sastrawan terkemuka baik di Indonesia maupun dunia.  Ia berkali-kali dan masuk sebagai nominasi penerima pengahargaan Nobel mapupun penghargaan-penghargaan lain dalam bisang sastra baik nasional maupun internasional.  Sejumlah karya fiksinya yang terkenal anatara lain: Sepuluh Kepala Nica (1946), Bukan Pasar Malam (1951), Midah Si Manis Bergigi Emas (1955), Mangir (2000), Jalan Daendeles dan lain-lain.  Sementara itu, karya puisinya diantaranya Antara Kita (Siasat) (1949), Anak Tumpah Darah Indonesia (1951) dan lain sebagainya.  Ada pula karya terjemahan (Tikus dan Manusia, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu, Ibunda, dll) dan karya nonfiksi (Kronik Revolusi, Surat kepada Keith Foulcher, dll).
Ciri khas karya-karyanya antara lain mengambil persoalan tema biografi seseorang, kebanyakan menguraikan persoalan sejarah, bertendensi pada kemanusiaan dan nilai-nilai humanis, dan menganut aliran realisme sosial.  Selayaknya kebanyakan sastrawan di Indonesia yang merupakan perokok berat, Pram juga termasuk di dalamnya.  Pram juga merupakan sosok yang humoris dengan berbagai celetukan kata-katanya yang mengundang tawa atau setidaknya segaris senyum.
            Pramoedya tidak pernah puas menulis. Ia menulis hingga di usia senjanya.  Namun mulai Januari 2006 kondisi kesehatannya menurun aakibat penyakit diabetes, sesak napas dan jantung. Pada 6 Februari 2006 digelar acara pameran buku mengenai Pram sebagai bentuk penyemangat hidup sekaligus sebagai hadiah ulang taun Pram ke-81. Setelah lama mengidap berbagai penyakit, penyakit tua dan beberapa kali keluar-masuk rumah sakit, pada 30 April 2006 pukul 08.55 WIB Pramoedya Ananta Toer wafat.  Ia meninggalkan seorang istri, delapan anak dan lima belas cucu.  Banyak hal yang dapat kita pelajari dari sosok Pramoedya Ananta Toer, diantaranya belajar berbangsa dan keindonesiaan, belajar mengarang dan belajar mengenai arti kehidupan.

Daftar Pustaka :
Rifai, Muhammad. 2010. Pramoedya Ananta Toer: Biografi Singkat (1925-2006). Yogyakarta: Garasi House of Books.

4 komentar: